Arti Stockholm Syndrome, Gejala, Penyebab dan Cara Mengobati

Dalam film atau perbincangan media sosial, stockholm syndrome sering menjadi hot topic. Beberapa kisah tentang stockholm syndrome bahkan begitu populer dan membuat kita tak habis pikir.
Jika tidak memahami mengapa sindrom ini terjadi, kita cenderung mudah terjebak dalam victim blaming. Namun begitu memahami apa itu stockholm syndrom dan bagaimana hal ini bisa terjadi, baru lah empati kita terhadap korban akan lebih terbangun.
Arti Stockholm Syndrome adalah
Jadi apa itu stockholm syndrome? Stockholm syndrome adalah kondisi psikologis dimana korban penculikan atau penyanderaan justru terikat perasaan emosional dan tumbuh empati terhadap pelaku.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1973 untuk menjelaskan reaksi sandera di Stockholm, Swedia, selama perampokan bank pada tahun sebelumnya. Pada Agustus 1973, empat sandera ditahan selama enam hari di dalam sebuah bank oleh dua perampok bernama Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson.
Selama penyanderaan, para sandera menjalin hubungan positif dengan para perampok dan bahkan membela mereka setelah terbebas. Kasus ini tentu mengejutkan banyak orang. Alhasil, psikiater Nils Bejerot menciptakan istilah “Stockholm syndrome” untuk menggambarkan ikatan traumatis antara si sandera dan penyandera.
Contoh kasus Stockholm syndrome yang terkenal lainnya adalah penculikan Patricia Hearst pada tahun 1974. Hearst, pewaris keluarga kaya di AS, diculik oleh kelompok radikal Symbionese Liberation Army. Setelah beberapa bulan, ia tampaknya bergabung dengan para penculiknya dan bahkan berpartisipasi dalam kejahatan bersama mereka. Patricia akhirnya ditangkap dan mengaku menderita Stockholm syndrome, di mana ia mengembangkan perasaan positif terhadap penculiknya.
Gejala Stockholm Syndrome
Gejala utama Stockholm Syndrome adalah perasaan simpati dan timbulnya kasih sayang terhadap pelaku kejahatan. Beberapa gejala spesifik sindrom stokcholm antara lain:
1. Perasaan Simpati dan Kesetiaan kepada Pelaku
Alih- alih benci, korban justru timbul rasa kasihan dan peduli pada pelaku. Korban merasa mempunyai hubungan emosional atau bahkan romantis dengan pelaku. Bahkan, korban merasa bahwa pelaku sebenarnya orang baik dan layak mendapatkan simpati.
2. Pembelaan Terhadap Tindakan Pelaku
Dalam prosesnya, korban kemudian akan membenarkan dan membela tindakan kriminal pelaku. Korban menganggap pelaku bertindak demi kebaikan korban. Lebih jauh lagi, korban juga bisa menyalahkan diri sendiri atas tindakan pelaku.
3. Ketakutan Meninggalkan Pelaku
Puncak dari stockholm syndrome adalah saat korban takut berpisah atau melarikan diri dari pelaku. Korban merasa tidak akan selamat tanpa pelaku. Korban merasa pelaku adalah satu-satunya orang yang bisa melindunginya
Gejala ini timbul akibat trauma psikologis yang korban alami selama menjadi tawanan atau di bawah ancaman pelaku kejahatan. Demi melindungi dirinya, korban berusaha bertahan dengan membangun hubungan psikologis dengan pelaku.
Penyebab Stockholm Syndrome
Stockholm syndrome umumnya terjadi karena beberapa faktor psikologis pada korban, antara lain:
1. Mekanisme Bertahan Hidup
Korban Stockholm syndrome seringkali merasa takut, tertekan, dan terancam selama masa penyekapan. Sebagai mekanisme bertahan hidup, mereka mencoba mengambil hati pelaku dengan bersikap baik dan patuh agar pelaku tidak melukai atau membunuh mereka. Dengan demikian, korban perlahan mulai mengidentifikasi diri dan berempati dengan pelaku.
2. Ketidakberdayaan Korban
Korban sindrom ini umumnya berada dalam situasi yang sangat tidak berdaya dan tergantung pada pelaku. Mereka tidak memiliki kendali atas keadaan. Nasib mereka sepenuhnya bergantung pada keputusan pelaku. Kondisi ini membuat korban rentan mengembangkan ikatan emosional dengan pelaku sebagai strategi bertahan hidup.
3. Isolasi dan Ketergantungan Korban
Pelaku biasanya sengaja mengisolasi korban dari dunia luar selama masa penyekapan. Ketergantungan total pada pelaku dan minimnya interaksi dengan orang lain membuat korban perlahan mulai menganggap pelaku sebagai figur perlindungan dan dukungan. Di sisi lain, pelaku sebenarnya adalah sumber ancaman untuk korban.
Faktor Risiko Stockholm Syndrome
Beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami Stockholm Syndrome antara lain:
1. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih berisiko mengalami sindrom stockholm dibandingkan laki-laki. Hal ini dikaitkan dengan peran gender dan harapan sosial yang membuat perempuan lebih condong untuk merasa kasihan dan berempati pada pelaku kekerasan daripada laki-laki. Selain itu, perempuan juga cenderung lebih rentan menjadi korban kekerasan dan penculikan daripada para laki-laki.
2. Usia
Anak-anak dan remaja lebih berisiko mengalami Stockholm Syndrome karena rentan terhadap manipulasi dan tekanan psikologis. Mereka belum sepenuhnya memiliki kemampuan untuk berpikir kritis dan membedakan perlakuan baik dan buruk.
Oleh karena itu, anak-anak dan remaja lebih mudah mengembangkan ikatan emosional dengan pelaku kekerasan sebagai mekanisme bertahan hidup.
3. Riwayat Trauma Masa Lalu
Seseorang yang pernah mengalami trauma psikologis atau kekerasan di masa lalu lebih rentan terhadap sindrom stockholm. Trauma masa lalu dapat menyebabkan kerentanan psikologis sehingga orang tersebut mudah mengembangkan ketergantungan pada pelaku demi kelangsungan hidupnya.
Riwayat penyiksaan, pelecehan, atau isolasi sosial pada masa lalu juga dapat mempengaruhi respons seseorang terhadap situasi sandera saat ini.
Diagnosis Stockholm Syndrome
Diagnosis Stockholm syndrome membutuhkan penilaian yang hati-hati oleh psikolog atau psikiater yang berpengalaman. Beberapa hal yang dapat para ahli tersebut lakukan untuk mendiagnosis kondisi ini meliputi:
1. Wawancara Pasien
Wawancara mendalam dengan pasien sangat penting untuk memahami gejala, perasaan, dan pemikiran yang mereka alami. Psikiater akan menanyakan detail mengenai situasi sandera, interaksi dengan pelaku, perasaan takut, ketergantungan, dan simpati yang dirasakan terhadap pelaku. Wawancara dilakukan untuk menilai apakah gejala pasien sesuai dengan Stockholm syndrome.
2. Tes Kesehatan Mental
Beberapa tes kesehatan mental juga dapat ahli lakukan untuk para korban. Misalnya tes kepribadian untuk menilai kondisi mental pasien secara menyeluruh. Tes ini membantu memastikan gejala yang dialami bukan karena gangguan mental lainnya.
3. Pemeriksaan Riwayat Medis
Psikiater akan melakukan pemeriksaan riwayat medis dan kesehatan pasien secara menyeluruh. Hal ini penting untuk menyingkirkan kondisi medis lain yang dapat menyebabkan gejala serupa. Riwayat pengobatan, penyakit, dan trauma masa lalu pasien perlu mendapatkan pemeriksaan.
Dengan melakukan penilaian menyeluruh melalui wawancara, tes mental, dan pemeriksaan medis, psikiater dapat mendiagnosis Stockholm syndrome pada pasien dengan akurat. Diagnosis dini dan tepat sangat penting agar penanganan yang sesuai dapat segera diberikan.
Pengobatan Stockholm Syndrome
Pengobatan utama untuk Stockholm Syndrome adalah dengan konseling dan terapi psikologis. Beberapa pengobatan yang dapat kita lakukan antara lain:
1. Konseling
Konseling sangat penting untuk membantu korban sindrom ini memahami dinamika hubungan mereka dengan pelaku dan mengatasi trauma psikologis. Melalui konseling, korban akan belajar mengenali pola pikir dan perilaku tidak sehat akibat sindrom ini. Konselor akan mengajarkan korban untuk mengubah pola pikir yang salah dan membangun harga diri serta kepercayaan diri.
2. Terapi Kognitif Perilaku
Terapi kognitif perilaku membantu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir dan keyakinan yang salah akibat Stockholm Syndrome. Fokus dari terapi ini antara lain mengubah pikiran negatif menjadi positif dan mengajarkan keterampilan mengelola emosi dan situasi sulit. Terapi perilaku juga penting untuk melatih korban mengubah perilaku tidak sehat dan meningkatkan keterampilan komunikasi serta hubungan interpersonal.
3. Pengobatan Gangguan Mental Terkait
Stockholm Syndrome sering dikaitkan dengan gangguan mental seperti PTSD, depresi, dan kecemasan. Oleh karena itu, pengobatan farmakologis seperti antidepresan atau obat anti kecemasan mungkin perlu diberikan jika ada gejala gangguan mental. Namun, obat-obatan hanya diberikan untuk jangka pendek dan tetap harus dikombinasikan dengan konseling atau terapi psikologis.
Kesimpulan
Stockholm syndrome adalah kondisi psikologis yang jarang terjadi di mana korban penculikan justru menunjukkan tanda-tanda kesetiaan, simpati atau hasrat romantis terhadap penyandera mereka. Ini adalah respon psikologis yang tidak biasa dan tentunya kontroversial.
Kondisi ini pertama kali diidentifikasi setelah insiden penyanderaan di Stockholm, Swedia pada tahun 1973. Sejak itu, telah terjadi kasus lain di mana korban tampaknya membentuk ikatan emosional dengan pelaku kejahatan mereka.
Beberapa tanda dan gejala umum Stockholm syndrome termasuk menolak untuk melarikan diri, membela pelaku, menunjukkan empati terhadap motivasi pelaku, dan bahkan jatuh cinta dengan pelaku.
Meskipun penyebab pastinya tidak diketahui, beberapa faktor risiko termasuk trauma, isolasi, ketergantungan, dan ketakutan bisa menjadi pemicu. Dengan dukungan yang tepat, orang-orang dengan sindrom ini dapat pulih sepenuhnya. Pemulihan memerlukan waktu dan upaya, tetapi memungkinkan korban untuk membangun kembali rasa percaya dan hubungan sehat di masa depan.