15 Tahun Jadi GM Bergaji 100 Juta, Nasib Mualaf ini Berubah 180 Derajat Setelah Melarat, 2 Kali Cerai dan Banting Setir Menjadi Pedagang Es Cincau

Hidup memang misteri yang sulit diprediksi akan seperti apa kita di masa depan nanti. Hari ini kita mendapat ujian besar dan masih terus berjuang, namun di masa depan ternyata bisa menikmati jerih payah kita. Namun ada juga yang berjaya di masa muda, lalu menikmati masa tua yang kurang menyenangkan.
Ini lah kisah hidup yang dialami oleh Hasanudin, seorang pria asal Palembang. Ia kini menjalani hidup dengan mengandalkan hasil berjualan es cincau keliling. Tak banyak yang tahu, ia dulunya adalah seorang manajer kaya raya.
Di masa jayanya, Hasanudin bahkan mendapatkan gaji sebesar Rp 100 juta selama menjadi seorang general manajer di sebuah tempat hiburan. Sayangnya, hidup nyaman dan berlimpah ini tidak menjadi jaminan masa tua yang aman dan tentram.
Hasanudin kehilangan semua harta kekayaannya. Ia bahkan harus gagal berumahtangga setelah dua kali bercerai. Untuk menyambung hidup, Hasanudin terpaksa banting setir menjadi seorang penjual es cincau keliling.
Menikmati hidup mewah bergelimang harta
Meski masa tua Hasanudin ini cukup mengejutkan, namun Hasanudin justru sebenarnya merasa lebih tenang dan bahagia. Dari kanal YouTube Gavy Story, pria yang kini berusia 66 tahun ini menceritakan kisah hidupnya.
Hasanudin pernah mengenyam pendidikan di Singapura dan mahir berbahasa Inggris dan Mandarin. Ia sempat menjadi seorang General Manager (GM) di tempat hiburan terkenal di Jakarta.
Selama masa itu pula, Hasanudin menikmati hidup bergelimang harta dan kemewahan. Ia tinggal di sebuah rumah mewah, mobil bagus, dan mempunyai keluarga yang harmonis.
Karena keberlimpahan tersebut, Hasanudin tak pernah ambil pusing saat istri ingin berbelanja, makan enak di restoran mahal, hingga memberi nafkah untuk sang mertua. Kemudian teman- temannya kerap datang untuk meminjam sejumlah uang.
Masalah hutang dan krisis keuangan
Di sisi lain, meski punya gaji yang besar, Hasanudin juga menumpuk utang. Sementara teman- temannya tidak membayar hutang seperti harapan, hutang Hasanudin sendiri mencapai 3 miliar. Uangnya pun perlahan- lahan mulai menipis.
Imbasnya, keluarganya pun mulai dilanda masalah hingga akhirnya mengalami perceraian.
Hasanudin mencoba membangun rumah tangga kembali dengan seorang wanita. Sayangnya, masalah keuangan lagi- lagi menjadi konflik dalam pernikahannya. Rumah tangganya yang kedua pun kandas dan kekayaan Hasanudin juga habis.

Tak putus asa, Hasanudin kemudian bertemu dengan seorang muslimah yang ingin ia nikahi. Calon istrinya ini mengajukan syarat agar diri nya harus memeluk Islam lebih dulu. Dan akhirnya Hasanudin resmi menjadi seorang mualaf di usia 43 tahun.
Hasanudin kemudian merantau ke Sukabumi dan memulai hidup baru dengan sang istri. Disana ia bertekad untuk memulai hidup baru dan meninggalkan masa lalunya yang pelik. Hasanudin mulai berjualan es cincau dengan gerobak dorong.
Mensyukuri Rejeki yang Diterimanya
Meski hasil berjualan cincau sudah pasti berbeda jauh dari penghasilannya saat menjadi seorang manajer. Hasanudin bersyukur dengan kehidupannya saat ini.
Pernah suatu ketika ia mengalami kesulitan saat sang anak membeli sepatu dan diharuskan membayar uang sekolah sebesar Rp 300 ribu. Saat itu hanya pasrah sambil berikhtiar mencari jalan keluar dan terus berjualan keliling.
Karena tak kunjung mendapat pembeli, cincau yang ia jual pun mulai rusak. Beruntung, seseorang ingin membeli es cincaunya. Namun Hasanudin memutuskan untuk menolak lantaran barang dagangannya sudah tidak layak konsumsi.
Sang pembeli memutuskan untuk membeli minuman lain yang dijual oleh Hasanudin, yaitu es nanas sebanyak dua bungkus seharga Rp 10 ribu. Tak disangka, sang pembeli memberinya uang Rp 300 ribu. Ini adalah jumlah uang yang sedang dicarinya untuk sang anak.
Hasanudin merasa sangat terharu. Ia merasa pertolongan Allah datang saat diri nya membutuhkan. Ia kemudian teringat dengan gaji 100 juta yang pernah ia peroleh dulu.
Ia merasa bahwa uang sebesar Rp 300 ribu yang dia peroleh saat ini bernilai lebih besar dari Rp 100 juta saat ia masih menjadi seorang manajer. Ada sebuah kepuasan batin yang membuatnya penuh rasa syukur.
“Saya buka uangnya pas Rp300 ribu. Ya Allah saya sedih, Allah itu sering tolong saya. Allah tolong saya, saya jadi ada uang untuk beli sepatu anak saya. Allah tolong saya terus. Dulu saya dapat gaji Rp100 juta, sekarang nilainya lebih dari itu,” ungkapnya.
Kisah hidup Hasanudin memang seperti pergerakan roda nasib. Sulit untuk diprediksi dan mengejutkan banyak orang.
Dari seorang manajer bergaji ratusan juta, ia kini hidup sederhana sebagai penjual es cincau. Meski begitu, ini adalah hal yang tetap ia syukuri karena merasa hidupnya lebih tentram.