Ibu yang Dikirim oleh Tuhan untuk Menjagaku
Perasaanku seperti diluluhlantakkan ketika ibu memberitahuku bahwa aku bukan putri kandungnya. Apalagi saat itu usiaku masih 6 tahun. Terlalu pahit kenyataan itu ku terima. Terlalu berat rasanya mendengar cerita itu.
Aku bahkan mengatakan hal itu tak mungkin pada ibu beberapa kali. Tapi ibu kembali menyatakan bahwa benar aku bukan putri kandungnya.
Pernyataan ibu membuat pikiranku sekejap dipenuhi dengan ketakutan. Tubuhku bergetar hebat dan hatiku bergejolak dengan begitu dahsyatnya. Tapi kemudian ibu memelukku dan mengusap kepalaku.
Ibu berusaha menenangkan ku. Katanya, itu bukan apa- apa.
“Kamu adalah malaikat Tuhan yang dikirim untuk Bunda, nak. Hanya bedanya, Tuhan mengirimkannya bukan dari rahim bunda. Tapi tak apa. Itu tak pernah menjadi pembeda. Kamu tetap putri bunda, sama seperti Kak Rani dan Vena”
Prasangka yang Salah
Aku sempat takut bahwa pernyataan ibu tersebut adalah indikasi ingin mengirimkanku ke panti asuhan atau memberikanku kepada orang tua asuh lainnya. Tapi tidak.
Aku salah. Ibu memberitahu ku karena menurutnya aku berhak tahu. Ibu juga tak ingin aku tahu dari orang lain, itulah mengapa aku diberi tahu ketika aku masih kecil.
Memang, ibu ku adalah seorang perempuan yang hebat. Dia begitu memahami ilmu parenting dengan baik dan mendedikasikan seluruh waktunya untuk mendidik ketiga putrinya dengan baik, termasuk aku. Ibu sudah janda karena ayah meninggal ketika aku berusia 10 tahun.
Tapi itu tak menjadikan ibu kehilangan arah. Ibu adalah seorang penulis lepas. Penghasilannya sebagai penulis lepas tidak banyak, tapi cukup untuk menghidupi kami bertiga. Selain itu, ibu juga berjualan baju dan aksesoris wanita apapun secara online.
Kadang Kak Rani ikut membantu karena ia sudah diajari ibu tentang Facebook dan sosmed lainnya. Tapi kini, Kak Rani tidak terlalu aktif membantu karena ia mendapat tugas dari ibu untuk mengajari kami blogging dan berjualan online lewat internet. Ibu dan kakak ku memang keren.
Tidak Pernah Ada Pembedaan
Aku seumuran dengan Vena. Waktu itu, ketika ibu baru beberapa hari melahirkan Vena, ibu ku meninggalkan ku di depan rumah ibu. Ayah menyarankan agar aku diberikan ke orang lain saja karena saat itu Kak Rani juga baru berusia 3 tahun. Ibu mungkin akan terlalu repot untuk merawatku.
Tapi ibu menolak dan berkomitmen untuk merawatku dan memasukkannya ke dalam Kartu Keluarga ayah dan ibu. Ayah pun akhirnya menuruti permintaan ibu dan menganggap aku seperti putri nya sendiri.
Aku tidak merasa seperti putri angkat ibu. Ibu dan ayah tak pernah membeda- bedakan ku dengan Vena dan Kak Rani. Baginya, tak ada istilah anak angkat dan anak kandung. Ibu bahkan memberi tahu bahwa aku bukan putri kandungnya hanya untuk tujuan edukasi semata.
Ibu dan ayah juga memberi tahu Kak Rani dan Vena. Dan mereka memastikan kepada kakak- kakakku bahwa aku tetaplah saudara mereka, tanpa ada garis pembeda sedikitpun. Kak Rani dan Vena mewarisi sifat ibu yang begitu penyayang dan murah hati.
Ibu mengajari kami cinta dan tanggung jawab secara bersamaan. Kami sudah belajar mencuci baju sendiri sejak kami masih duduk di bangku kelas satu SD. Setiap hari ibu mengharuskan kami bangun subuh agar bisa sholat berjamaah dan tidak terburu- buru berangkat sekolah.
Ibu mengajari kami mandiri dengan mengenalkan kami untuk berjualan secara online. Ibu memastikan bahwa kami selalu berpakaian sopan dan bersikap murah hati kepada orang lain.
Ia juga memastikan kami memiliki pengetahuan yang cukup dan kemampuan untuk berkembang sesuai dengan kesukaan agar kami. Mereka ingin kami memiliki masa depan yang cerah dan penuh kebahagiaan.
Surat Misterius
Entah kenapa, pada suatu hari, aku melihat ibu seperti murung. Tumben sekali ia tidak menghabiskan malam dengan sibuk dengan laptop nya terlebih dahulu. Aku, yang kebetulan tak bisa tidur mendekati ibu.
“Ibu kenapa?”, tanyaku.
Seperti biasa, ibu selalu jujur, transparan dan tidak menutup- nutupi tentang kejadian apa pun yang keluarga kami alami. Satu tangan Ibu meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat.
Aku merasa ada sesuatu yang membuat ibu tak nyaman. Ibu mengusap pipi ku dan mulai mengatakan apa yang terjadi.
“Tadi pagi ibu menemukan sebuah surat di depan pintu, nak. Surat itu ternyata dari ibu yang melahirkanmu 16 tahun silam”
Aku tertegun. Untuk kedua kalinya tubuhku bergetar hebat. Tapi, kali ini aku mampu mengontrolnya karena aku melihat kecemasan dari mata ibu.
“Lalu bu?”, tanyaku.
“Dalam surat itu ibumu mengatakan bahwa ia menyesal pernah meninggalkan mu sendirian. Jika tak keberatan, ia ingin mengambilmu kembali, nak. Tapi, itu jika kau menyetujuinya. Tapi itu hanya jika kau menyetujuinya, nak”
Semua terasa senyap. Entah mengapa hatiku terasa hampa. Aku takut bunda menasehatiku agar mengikuti ibu yang tak ku kenal dan tiba- tiba datang itu. Aku bahkan tak merasa membutuhkan ibu yang lain.
Seperti kata ibu dulu, aku dikirim untuk ibu, hanya saja melalui rahim orang lain. Selama aku hidup, aku merasakan kehangatan cinta dari ibu, ayah, Vena dan Kak Rani. Aku tak mungkin pergi dari keluarga ini. Aku tak kan sanggup.
Ibu memelukku. Aku mulai mendengar isak tangis darinya.
“Bunda tak akan memaksa, nak. Bunda hanya ibu angkatmu. Jika kau ingin kembali ke ibu yang melahirkan mu, ibu akan belajar untuk ikhlas”
Aku pun ikut menangis dan larut dalam haru, “Ibu ini bicara apa. Risha mau sama bunda, Vena dan Kak Rani. Risha ga’ mau sama ibu yang lain. Ibu ini bukan ibu angkat Risha. Bunda ini ibu kandung Risha yang sebenarnya. Bunda menjadikan Risha hangat akan cinta dan kasih sayang. Risha ga’ mau ibu yang lain karena bunda adalah yang terbaik.”
Pada malam itu, akhirnya kami sepakat bahwa aku akan tetap tinggal dengan Bunda selamanya. Kami pun menulis surat balasan yang kami taruh di bawah pintu malam itu juga. Dalam surat itu aku berterima kasih kepada ibu yang telah melahirkanku.
Tapi aku hanya ingin tinggal dengan keluarga yang membesarkan ku karena disinilah aku merasakan kehangatan dan hidup. Aku tak mengungkapkan rasa sakit hati atau gondok sedikitpun karena aku tak ingin ibu yang melahirkan ku sakit hati.
Aku harap ia akan mengerti dan tak tersakiti. Biar bagaimanapun, takdir hidupku telah berjalan dan tertulis dengan Bunda dan keluarga yang membesarkanku.
Keesokan hari, dengan ajaibnya surat balasan yang kami selipkan di bawah pintu sudah menghilang entah kemana. Aku dan Bunda percaya bahwa ibu kandungku mungkin telah mengambil dan membaca isi surat itu. Selanjutnya, kami tak pernah mendengar kabar berita lagi tentang ibu kandung ku.
Aku setiap hari berdoa agar ibuku diberi putra putri pengganti yang lebih baik dari aku dan bisa membuat hari- harinya selalu cerah, bahagia dan penuh warna. Aku percaya ia adalah perempuan yang baik meski telah meninggalkanku.
Dan bagiku, yang bersamaku saat ini bukan lah ibu angkatku, dia adalah malaikat Tuhan yang menjadi ibu kandungku sebenarnya. Dial ah penjagaku yang dikirim oleh Tuhan.